Kamis, 19 November 2009

MEMAHAMI "KHARAKTER"

Bangsa Indonesia boleh bangga dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Tetapi seolah sia-sia kekayaan tersebut jika tidak dibarengi dengan kesiapan sumber daya manusia (sdm) yang memadai. Ketika kita membicarakan sdm, tentu tidak cukup dengan kuantitas, karena jumlah yang banyak justru menjadi beban jika tidak diimbangi dengan kulitas sdm yang juga memadai. Berbicara kulaitas sdm bangsa Indonesia, kita mesti prihatin. Kualitas sdm bangsa kita masih di bawah sdm negara-negara tetangga antara lain Singapura dan Malaysia. Untuk meningkatkan kualitas sdm, maka pendidikan lah sektor yang paling bertanggung jawab.
Dalam kualitas sdm dua unsur ini tidak dapat diabaikan, pertama adalah kualitas kecerdasan dan yang kedua adalah kualitas kepribadian (Character). Betapapun hebatnya kecerdasan seseorang jika berkepribadian buruk -baca: jahat, maka kerusakanlah yang akan terjadi. Bahkan tidak terlalu salah jika ada yang berpendapat lebih baik tidak terlalu cerdas -baca: pintar, asalkan berkepribadian baik. Tetapi tidaklah terlalu penting untuk memperdebatkan mana yang lebih penting antara pintar atau cerdas dengan berkepribadian baik. Bukankah "tidak apa cerdas asal berkepribadian mulia????".
Sistim pendidikan di Indonesia hingga saat ini masih berorientasi pada aspek kecerdasan atau kepintaran un sich. Masalah kepribadian menjadi prioritas kedua. Sehingga lumrah jika sampai saat ini problem mendasar kita adalah degradasi moralitas bangsa. Mulai dari tawuran antar kampung, pergaulan bebas antara laki dan perempuan (hasil survei menyebutkan 62 % remaja kita sudah pernah melakukan sex bebas), hingga KKN yang konon sudah menggurita di seluruh negeri. Dari penjelasan ini tidak salah jika kita menyimpulkan bangsa ini susah maju jika persoalan kepribadian tidak diselesaikan dahulu.
Dr.Ratna Mega Wangi pernah menyebutkan 13 pilar kepribadian yang harus dimiliki oleh seseorang, sepuluh di antaranya adalah kualitas karakter seseorang.
(1) jujur dan dapat diandalkan,
(2) bisa dipercaya dan tepat waktu,
(3) bisa menyesuaikan diri dengan orang lain,
(4) bisa bekerja sama derigan atasan,
(5) bisa menerima dan menjalankan kewajiban,
(6) mempunyai motivasi kuat untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas diri,
(7) berpikir bahwa dirinya berharga,
(8) bisa berkomunikasi dan mendengarkan secara efektif,
(9) bisa bekerja mandiri dengan kontrol terbatas,
(10) dapat menyelesaikan masalah pribadi dan profesinya.
Sedang, tiga faktor yang terakhir yang berkaitan dengan IQ,
(11) mempunyai kemampuan dasar (kecerdasan),
(12) bisa membaca dengan pemahaman memadai,
(13) mengerti dasar-dasar matematika (berhitung).
Namun jika kita mau jujur, agamalah diantara media yang sangat efektif guna menginternalisasikan secara kuat nilai-nilai kharakter tersebut pada diri seseorang. kepribadian bukan fungsi dari hal-hal yang bersifat bendawi (baca: duniawi). Sekalipun kita tidak menutup mata pada realitas kaum agamawan yang justru berkaharakter buruk. Melihat hal demikian ada beberapa hipotesa, mungkin saja bad charakter dalam diri agamawan itu kasuistik. Bisa juga, metode keberagamaan yang kurang tepat. Yang jelas semua agama menjunjung tinggi moralitas. Islam sendiri diiturunkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Muhammadiyah sebagai pergerakan dakwah memiliki metode yang khas dalam memahami Islam, begitu juga NU dan ormas keagamaan yang lain. Yang khas dari metode keberagamaan Muhammadiyah adalah keberagaamaan moderat (tengah-tengah) atau tidak ekstrim, dan berkemajuan. Sekolah-sekolah Muhammadiyah mestinya menyadari persis akan posisinya sebagai amal usaha Muhammadiyah, yang harus berfungsi sebagai kepanjangan tangan Muhammadiyah. Yakni menghasilakn manusia-manusia yang moderat dan berkemajuan.....bersambung insya Allah.

Tidak ada komentar: